Etika Belajar Dan Sifat Tidak Merasa-Tinggi (Arrogant)
Sabtu, Mei 31, 2008Isma’il Ibn al-Husain al-Alawi, seorang ahli Nasab (Genealogi), pernah bercerita: suatu hari Fakhruddin ar-Razi datang ke Marwa. Dia adalah seorang tokoh yang dikenal luas karena keilmuan, popularitas, dan kewibawaannya yang agung, hingga tidak ada seorang pun yang berani membantah ucapannya. Bila berhadapan dengannya, orang selalu menahan napas.
Suatu hari, saat aku datang untuk belajar seperti biasanya, beliau berkata kepadaku:
Aku ingin engkau menulis sebuah buku tentang nasab keluarga Ali Ibn Abi Thalib. Aku ingin mempelajari dan menghafalkannya. Beberapa lama kemudian, akupun berhasil merampungkan sebuah buku besar tentang nasab keluarga Ali. Saat aku serahkan buku itu, ia turun dari kursinya dan duduk di atas tikar. Lalu ia berkata:
“Duduklah di kursi ini!”
Dengan perasaan berat aku menolak permintaannya. Ia membentakku hingga membuatku gemetar. “Duduklah seperti yang kuperintahkan padamu!” perintah Fakhruddin.
Kharismanya membuatku gemetar hingga tanpa sadar aku sudah duduk di kursi guru.
Kemudian ia mulai mempelajari kitab karanganku sambil duduk di hadapanku. Ia menanyakan hal-hal yang kurang dimengerti, hingga akhirnya ia menyelesaikan membaca kitab tersebut.
“Duduklah sekarang di mana pun engkau suka. Ini adalah ilmu dan engkau guruku untuk masalah ini. Aku mengambil faedah dan belajar darimu. Termasuk adab dalam belajar seorang murid duduk di hadapan gurunya,” kata Fakhruddin bijak.
Halaman 123-124
(Amin, Husein Ahmad. 2005. 100 Kisah Teladan terj. Alf Hikayah Wa Hikayah min al-Adab al-Arabi al-Qadim oleh Safrudin Edi Wibowo. Yogyakarta: Mitra Pustaka. Disunting Dari Kitab “Al-Wafi Bi Al-Wafyat” Karya Ash-Shafadi”)
Suatu hari, saat aku datang untuk belajar seperti biasanya, beliau berkata kepadaku:
Aku ingin engkau menulis sebuah buku tentang nasab keluarga Ali Ibn Abi Thalib. Aku ingin mempelajari dan menghafalkannya. Beberapa lama kemudian, akupun berhasil merampungkan sebuah buku besar tentang nasab keluarga Ali. Saat aku serahkan buku itu, ia turun dari kursinya dan duduk di atas tikar. Lalu ia berkata:
“Duduklah di kursi ini!”
Dengan perasaan berat aku menolak permintaannya. Ia membentakku hingga membuatku gemetar. “Duduklah seperti yang kuperintahkan padamu!” perintah Fakhruddin.
Kharismanya membuatku gemetar hingga tanpa sadar aku sudah duduk di kursi guru.
Kemudian ia mulai mempelajari kitab karanganku sambil duduk di hadapanku. Ia menanyakan hal-hal yang kurang dimengerti, hingga akhirnya ia menyelesaikan membaca kitab tersebut.
“Duduklah sekarang di mana pun engkau suka. Ini adalah ilmu dan engkau guruku untuk masalah ini. Aku mengambil faedah dan belajar darimu. Termasuk adab dalam belajar seorang murid duduk di hadapan gurunya,” kata Fakhruddin bijak.
Halaman 123-124
(Amin, Husein Ahmad. 2005. 100 Kisah Teladan terj. Alf Hikayah Wa Hikayah min al-Adab al-Arabi al-Qadim oleh Safrudin Edi Wibowo. Yogyakarta: Mitra Pustaka. Disunting Dari Kitab “Al-Wafi Bi Al-Wafyat” Karya Ash-Shafadi”)
Sinetron: Adiksi dan Infeksi
Minggu, Mei 18, 2008Sinetron membanjiri media Televisi dan hadir sebagai hiburan rakyat. Banyak orang menyukainya terutama dari kalangan Ibu-ibu Rumah Tangga. Namun, banyak ilmuwan sosial mengkritik dan tidak menggubris alasan kosong kelebihan dan kebaikan yang disebut pemainnya.
Sinetron adalah singkatan dari Sinema Elektronik. Sinetron merupakan sinema yang berisi cerita variatif dan bersambung-sambung. Dia berbeda dari layar lebar atau film lepas yang sering ada di bioskop dan sejenisnya. Cerita bersambung itu menyentuh tema abstrak, perasaan, emosi, dan mistik.
Sinetron mempengaruhi moral dan kantong uang pemain-pemainnya. Di Indonesia, sinetron membius ibu RT di waktu pagi dan malam. Periklanan meningkat karena rating sinetron yang tinggi. Sedangkan bagi Industri Artist, sinetron menjanjikan kepopuleran, kekayaan, dan kesejahteraan ekonomi tanpa perduli apa efek samping yang menimpa sosial masyarakat.
Di lain pihak, Akademisi, Pemerhati Sosial, dan Agamawan mengkritik habis-habisan sinetron-sinetron. Menurut mereka, sinetron tidak lebih banyak menyuguhkan kebaikan moral dan rasional. Ada sinetron yang berepisode hingga 200-an dan hanya 25% darinya memvisualisasikan perilaku kebaikan. Lebih dari itu, penonton diajak ke buaian mimpi, tak masuk-akal, tak berdasar, dan disajikan melalui efek grafik picisan dan amatir.
Pemerintah dan NGO perlu merumuskan prinsip tertentu bagi penayangan sinetron. Kaidah tayang adalah penting. Dia tidak hanya menjaga masyarakat dari kebodohan cerita dan efek rendah tapi juga menuntut sutradara lebih kreatif. Apa jadinya generasi pewaris kita bila ibu pendidiknya mengajar moral, dan perasaan dari sinetron yang rendah.
Sinetron adalah singkatan dari Sinema Elektronik. Sinetron merupakan sinema yang berisi cerita variatif dan bersambung-sambung. Dia berbeda dari layar lebar atau film lepas yang sering ada di bioskop dan sejenisnya. Cerita bersambung itu menyentuh tema abstrak, perasaan, emosi, dan mistik.
Sinetron mempengaruhi moral dan kantong uang pemain-pemainnya. Di Indonesia, sinetron membius ibu RT di waktu pagi dan malam. Periklanan meningkat karena rating sinetron yang tinggi. Sedangkan bagi Industri Artist, sinetron menjanjikan kepopuleran, kekayaan, dan kesejahteraan ekonomi tanpa perduli apa efek samping yang menimpa sosial masyarakat.
Di lain pihak, Akademisi, Pemerhati Sosial, dan Agamawan mengkritik habis-habisan sinetron-sinetron. Menurut mereka, sinetron tidak lebih banyak menyuguhkan kebaikan moral dan rasional. Ada sinetron yang berepisode hingga 200-an dan hanya 25% darinya memvisualisasikan perilaku kebaikan. Lebih dari itu, penonton diajak ke buaian mimpi, tak masuk-akal, tak berdasar, dan disajikan melalui efek grafik picisan dan amatir.
Pemerintah dan NGO perlu merumuskan prinsip tertentu bagi penayangan sinetron. Kaidah tayang adalah penting. Dia tidak hanya menjaga masyarakat dari kebodohan cerita dan efek rendah tapi juga menuntut sutradara lebih kreatif. Apa jadinya generasi pewaris kita bila ibu pendidiknya mengajar moral, dan perasaan dari sinetron yang rendah.
Perbedaan Singkat Epistemologi 'Ulama dan Sufi
Kamis, Mei 15, 2008
Dalam buku Ihya Ulumuddin, Imam Al-Ghazali mengulas perbedaan epistemologi antara jalan 'Ulama dan Sufi. Sedangkan, uraian secara singkat, kita dapat menemuinya di buku Mursyidul Amin. Kami mengulas hal ini karena tema ini adalah tema yang menarik. Kami menyuguhkan model untuk menggambarkannya secara artifisial. Maksudnya, model ini hanya gambaran, dan bukan merepresentasikan kondisi yang sesungguhnya. Singkatnya, uraian ini adalah ringkasan dari topik perbedaan metode shufiyah dan 'ulama di dalam Buku Ihya' Ulumuddin.

Gambar di atas adalah model perbedaan epistemologi shufiyah dan ulama'. Al-Ghazali mengenali dua cara, yaitu: Thoriqul 'Ulama (Jalan Ulama/Scientist) dan Thoriqul Shufiyah (Jalan Shufiyah).
Yang pertama, Thoriqul 'Ulama (Jalan Ilmuwan/Scientist) adalah suatu jalan bagaimana seseorang mendapatkan hakekat pengetahuan melalui pembelajaran, berpikir, dialog, penelitian, dan sejenisnya. Al-Ghazali mengelompokkan dan menyebut ilmu-ilmu untuk mencapai hakekat pengetahuan dengan istilah "Ilmu Mu'amalah". Kemudian, cara yang dipakai untuk mendapatkan pengetahuan itu, kami menyebutnya Tartibul Barahin. Sebenarnya, Al-Ghazali tidak menyebut istilah tersebut, namun kami mendapatkannya dari Guru kami.
Tartibul Barahin merupakan cara memahami pengetahuan secara rapi dengan memakai induksi, deduksi, dan dialektik. Cara ini kita sering temui di sekolah, madrasah, universitas, dan sejenisnya. Seseorang belajar dari tingkat elementary hingga Phd. Mereka mempelajari pengetahuan dari Dalil, Postulat, Aksioma, teori, penelitian, observasi, wawancara, survay, dan sejenisnya. Pengetahuan yang reliable (handal) dan valid (sah) adalah pengetahuan yang rasional, fisik, empiris, dan bisa dibuktikan. Orang yang ahli dalam jalan ini disebut 'ulama, Cendekia, Sarjana, dan sejenisnya.
Selanjutnya, atau yang kedua, Thoriqul Shufiyah (Jalan Sufistik) adalah suatu jalan bagaimana seseorang mencapai hakekat pengetahuan melalui pembersihan nafsu dan hati. Jalan Sufistik tidak bisa ditemui di sekolah atau universitas. Begitu pula, Sufistik tidak menekankan pembelajaran teori-teori, postulat, atau aksioma seperti yang dilakukan pelajar di sekolah atau madrasah. Sebagai gantinya, Sufistik menekankan perilaku yang baik di kehidupan. Manusia yang telah berhasil menjalani Thoriqul Shufiyah disebut Sufi. Kita bisa menemui Bimbingan Jalan Sufistik melalui kelompok Thoriqoh dan sejenisnya. Al-Ghazali menyebut ilmu-ilmu dalam Jalan Sufistik melalui sebutan "Ilmu Mukasyafah" dan "Ilmu Tasawwuf". Kemudian, cara yang dipakai untuk mendapatkan pengetahuan itu, beliau menyebutnya dengan istilah "Tazkiyat An-nafs".
Menurut jalan sufistik, ukuran pengetahuan yang reliable dan valid adalah pengetahuan yang berasal dari hati yang bersih. Karena itu, pengetahuan lebih berasal dari intuisi dan perasaan yang mencerminkan subyektivitas sufi daripada pengetahuan rasional dan empiris. Intuisi hadir secara tiba-tiba ke dalam hati, kemudian, memecahkan masalah-masalah. Seperti seseorang yang tiba-tiba mendapatkan Mercedez Tiger untuk mengantarnya ke Istana Negara daripada harus memilih Bus Kota.
Sedangkan, Tazkiyat An-nafs merupakan cara bagaimana seseorang membersihkan jiwa dan hati. Beliau menganalogikan bahwa hati manusia seperti cermin. Jika cermin itu bersih maka dia bisa menerima bayangan gambar secara bagus. Sebaliknya, jika cermin itu kotor maka dia tidak bisa menerima gambar secara bagus dan rinci. Cermin yang kotor seperti hijab yang menutupi gambar yang diterima cermin. Manusia hanya bisa membersihkan cermin itu melalui peningkatan perilaku baik dan mengurangi prilaku buruk. Contoh dari perilaku buruk/jahat, misalnya: "marah", "iri dan dengki", mengumbar nafsu seks, dan sejenisnya. Sedangkan contoh dari perilaku baik misalnya: ikhlas, sabar, dzikir, dan sejenisnya.
Masyarakat awam dan berpengetahuan rendah sering mengadakan superioritas dengan membanding-bandingkan di antara kedua jalan di atas. Padahal, sebenarnya, keduanya bukan dimaksudkan untuk saling berseteru. Masyarakat harus memposisikan keduanya secara baik dan bukan saling merendahkan satu sama lain. Karena hal itu tidak menambah kemaslahatan apapun tapi akan memperburuk suasana menjadi mencekam, prasangka jahat, dan muram.
Yang terakhir, Kedua jalan dan cara di atas bukanlah lawan atau antonim satu sama lainnya. Al-Ghazali menegaskan bahwa keduanya bisa eksis secara harmonis. Para 'ulama dan Shufi harus bersatu, tidak bercerai-berai, dan tidak saling berperang argumen satu sama lainnya. Karena hal tersebut bisa mengakibatkan kebingungan Peradaban Dunia Muslim seperti di masa lalu.

Gambar di atas adalah model perbedaan epistemologi shufiyah dan ulama'. Al-Ghazali mengenali dua cara, yaitu: Thoriqul 'Ulama (Jalan Ulama/Scientist) dan Thoriqul Shufiyah (Jalan Shufiyah).
Yang pertama, Thoriqul 'Ulama (Jalan Ilmuwan/Scientist) adalah suatu jalan bagaimana seseorang mendapatkan hakekat pengetahuan melalui pembelajaran, berpikir, dialog, penelitian, dan sejenisnya. Al-Ghazali mengelompokkan dan menyebut ilmu-ilmu untuk mencapai hakekat pengetahuan dengan istilah "Ilmu Mu'amalah". Kemudian, cara yang dipakai untuk mendapatkan pengetahuan itu, kami menyebutnya Tartibul Barahin. Sebenarnya, Al-Ghazali tidak menyebut istilah tersebut, namun kami mendapatkannya dari Guru kami.
Tartibul Barahin merupakan cara memahami pengetahuan secara rapi dengan memakai induksi, deduksi, dan dialektik. Cara ini kita sering temui di sekolah, madrasah, universitas, dan sejenisnya. Seseorang belajar dari tingkat elementary hingga Phd. Mereka mempelajari pengetahuan dari Dalil, Postulat, Aksioma, teori, penelitian, observasi, wawancara, survay, dan sejenisnya. Pengetahuan yang reliable (handal) dan valid (sah) adalah pengetahuan yang rasional, fisik, empiris, dan bisa dibuktikan. Orang yang ahli dalam jalan ini disebut 'ulama, Cendekia, Sarjana, dan sejenisnya.
Selanjutnya, atau yang kedua, Thoriqul Shufiyah (Jalan Sufistik) adalah suatu jalan bagaimana seseorang mencapai hakekat pengetahuan melalui pembersihan nafsu dan hati. Jalan Sufistik tidak bisa ditemui di sekolah atau universitas. Begitu pula, Sufistik tidak menekankan pembelajaran teori-teori, postulat, atau aksioma seperti yang dilakukan pelajar di sekolah atau madrasah. Sebagai gantinya, Sufistik menekankan perilaku yang baik di kehidupan. Manusia yang telah berhasil menjalani Thoriqul Shufiyah disebut Sufi. Kita bisa menemui Bimbingan Jalan Sufistik melalui kelompok Thoriqoh dan sejenisnya. Al-Ghazali menyebut ilmu-ilmu dalam Jalan Sufistik melalui sebutan "Ilmu Mukasyafah" dan "Ilmu Tasawwuf". Kemudian, cara yang dipakai untuk mendapatkan pengetahuan itu, beliau menyebutnya dengan istilah "Tazkiyat An-nafs".
Menurut jalan sufistik, ukuran pengetahuan yang reliable dan valid adalah pengetahuan yang berasal dari hati yang bersih. Karena itu, pengetahuan lebih berasal dari intuisi dan perasaan yang mencerminkan subyektivitas sufi daripada pengetahuan rasional dan empiris. Intuisi hadir secara tiba-tiba ke dalam hati, kemudian, memecahkan masalah-masalah. Seperti seseorang yang tiba-tiba mendapatkan Mercedez Tiger untuk mengantarnya ke Istana Negara daripada harus memilih Bus Kota.
Sedangkan, Tazkiyat An-nafs merupakan cara bagaimana seseorang membersihkan jiwa dan hati. Beliau menganalogikan bahwa hati manusia seperti cermin. Jika cermin itu bersih maka dia bisa menerima bayangan gambar secara bagus. Sebaliknya, jika cermin itu kotor maka dia tidak bisa menerima gambar secara bagus dan rinci. Cermin yang kotor seperti hijab yang menutupi gambar yang diterima cermin. Manusia hanya bisa membersihkan cermin itu melalui peningkatan perilaku baik dan mengurangi prilaku buruk. Contoh dari perilaku buruk/jahat, misalnya: "marah", "iri dan dengki", mengumbar nafsu seks, dan sejenisnya. Sedangkan contoh dari perilaku baik misalnya: ikhlas, sabar, dzikir, dan sejenisnya.
Masyarakat awam dan berpengetahuan rendah sering mengadakan superioritas dengan membanding-bandingkan di antara kedua jalan di atas. Padahal, sebenarnya, keduanya bukan dimaksudkan untuk saling berseteru. Masyarakat harus memposisikan keduanya secara baik dan bukan saling merendahkan satu sama lain. Karena hal itu tidak menambah kemaslahatan apapun tapi akan memperburuk suasana menjadi mencekam, prasangka jahat, dan muram.
Yang terakhir, Kedua jalan dan cara di atas bukanlah lawan atau antonim satu sama lainnya. Al-Ghazali menegaskan bahwa keduanya bisa eksis secara harmonis. Para 'ulama dan Shufi harus bersatu, tidak bercerai-berai, dan tidak saling berperang argumen satu sama lainnya. Karena hal tersebut bisa mengakibatkan kebingungan Peradaban Dunia Muslim seperti di masa lalu.
Fiqih sebagai Ilmu (Science)
Sabtu, Mei 03, 2008Membicarakan subyek berarti membicarakan sifat alami subyek itu sendiri. Sejak abad 9 M, Fiqih telah memakai berbagai abstraksi, terminologi, teknik penafsiran, dan penjelasan tertentu. Elemen konseptual tersebut adalah kunci intelektual di mana fiqih dapat dipahami dan dipelajari.
Sebagai titik poin, salah satu definisi fiqih yang sering dikutip para ahli Fiqih di Indonesia adalah dari Prof. Abdul Wahab Khalaf, seperti berikut ini:
Ilmu Fiqih membatasi masalah yang dikaji hanya pada daerah “amaliyah”. Jadi, ilmu Fiqih tak mengkaji secara dominan hari kemudian, surga, dan neraka; karena hal itu diluar jangkauan kajian “amaliyah”. Abu Zahrah, seorang Professor Ushul, menjelaskan bahwa kajian keyakinan Muslim seperti Keesaan Allah (Tuhan), bersihnya Rasul, serta penyampaian Qur’an kepada Rasul, dan keyakinan terhadap kiamat; kesemuanya itu tidaklah termasuk kajian fiqh. Fiqih, oleh karena itu, memahami daerah “tindakan manusia” atau “kemungkinan tindakan” yang rasional dan praktis (Zahroh, 1997:1-3). Dapat dikatakan, Ilmu Fiqih mengkaji obyek amaliyah, yang menjadikannya berbeda dengan ilmu Tauhid dan Tasawwuf.
Ilmu Fiqih tak bersifat mistik (mystic/kebatinan), supra-natural, dan asketik (pertapa/tapabrata). Akan tetapi, Ilmu Fiqih menerima kharakter empirik, rasional, fisik, etis, dan normatif. Ketika manusia menghadapi dan menyadari masalah, mereka berusaha menyelesaikannya. Dalam usaha memecahkan masalah tersebut, Ilmu Fiqih tak menoleh kepada perasaan, akan tetapi, Ilmu Fiqih menoleh ke pikiran berdasarkan penalaran dan bukti-bukti yang nyata. Karena itu, Ilmu Fiqih berusaha mencari penjelasan secara rasional-logis dan empiris. Disatu pihak, karena masalah yang dihadapi nyata dan rasional, ilmu fiqih mencari jawabannya pada sumber-sumber yang nyata dan rasional pula.
Fiqih berusaha memaparkan sumber otoritatif dan non-otoritatif menjadi pengetahuan yang siap-pakai dan mudah dipahami. Hal ini berarti, mujtahid membantu muslim lainnya untuk memahami keputusan dan hukum dari Qur'an, Sunnah, dan hasil Ijtihad melalui penataan dan uraian sedemikian rupa. Lebih dari itu, perbedaan lingkup masalah mengakibatkan berbedanya metode, pendekatan, dan teknik analisis yang dipakai para mujtahid.
Barangkali, karena alasan inilah, Cik Hasan Bisri, seorang ahli Syari’ah, berpendapat bahwa ushul-fiqih dan sejarah fiqih merupakan bagian studi yang masuk di dalam Ilmu Fiqih. Karena, pada dasarnya, kedua studi tersebut adalah bertujuan untuk mendukung keberadaan Ilmu Fiqih itu sendiri (Bisri, 2003).
Sebagai titik poin, salah satu definisi fiqih yang sering dikutip para ahli Fiqih di Indonesia adalah dari Prof. Abdul Wahab Khalaf, seperti berikut ini:
Dari definisi tersebut diatas, terkandung 3 (tiga) komponen/unsur penting yang saling meliputi. Adapun ketiganya tersebut adalah:العِلمُ بِ الاَ حكام شرعية العملية المكتسبة من ادلتها تفصليةIlmu tentang al-ahkam syar’iyyati yang amaliyah yang diambil dari dalil-dalil Syari’ah yang rinci (Khalaf, 1990:10).
- Al-ahkam syar’iyyati (Teori Keputusan Syari’ah)
- Amaliyah (hasil analisis berkaitan rangkaian-tindakan-praktis (course of action))
- Dalil Syari’ah
Ilmu Fiqih membatasi masalah yang dikaji hanya pada daerah “amaliyah”. Jadi, ilmu Fiqih tak mengkaji secara dominan hari kemudian, surga, dan neraka; karena hal itu diluar jangkauan kajian “amaliyah”. Abu Zahrah, seorang Professor Ushul, menjelaskan bahwa kajian keyakinan Muslim seperti Keesaan Allah (Tuhan), bersihnya Rasul, serta penyampaian Qur’an kepada Rasul, dan keyakinan terhadap kiamat; kesemuanya itu tidaklah termasuk kajian fiqh. Fiqih, oleh karena itu, memahami daerah “tindakan manusia” atau “kemungkinan tindakan” yang rasional dan praktis (Zahroh, 1997:1-3). Dapat dikatakan, Ilmu Fiqih mengkaji obyek amaliyah, yang menjadikannya berbeda dengan ilmu Tauhid dan Tasawwuf.
Ilmu Fiqih tak bersifat mistik (mystic/kebatinan), supra-natural, dan asketik (pertapa/tapabrata). Akan tetapi, Ilmu Fiqih menerima kharakter empirik, rasional, fisik, etis, dan normatif. Ketika manusia menghadapi dan menyadari masalah, mereka berusaha menyelesaikannya. Dalam usaha memecahkan masalah tersebut, Ilmu Fiqih tak menoleh kepada perasaan, akan tetapi, Ilmu Fiqih menoleh ke pikiran berdasarkan penalaran dan bukti-bukti yang nyata. Karena itu, Ilmu Fiqih berusaha mencari penjelasan secara rasional-logis dan empiris. Disatu pihak, karena masalah yang dihadapi nyata dan rasional, ilmu fiqih mencari jawabannya pada sumber-sumber yang nyata dan rasional pula.
Fiqih berusaha memaparkan sumber otoritatif dan non-otoritatif menjadi pengetahuan yang siap-pakai dan mudah dipahami. Hal ini berarti, mujtahid membantu muslim lainnya untuk memahami keputusan dan hukum dari Qur'an, Sunnah, dan hasil Ijtihad melalui penataan dan uraian sedemikian rupa. Lebih dari itu, perbedaan lingkup masalah mengakibatkan berbedanya metode, pendekatan, dan teknik analisis yang dipakai para mujtahid.
Barangkali, karena alasan inilah, Cik Hasan Bisri, seorang ahli Syari’ah, berpendapat bahwa ushul-fiqih dan sejarah fiqih merupakan bagian studi yang masuk di dalam Ilmu Fiqih. Karena, pada dasarnya, kedua studi tersebut adalah bertujuan untuk mendukung keberadaan Ilmu Fiqih itu sendiri (Bisri, 2003).
Etika berbicara dengan Raja (Pemimpin Pemerintahan)
Jumat, Mei 02, 2008Suatu hari, setelah lama tidak menampakkan diri, Al-Ashma’i hadir di majelis Harun Al-Rasyid. Melihat kehadirannya, Harun bertanya,
“Wahai Al-Ashma’i, ke mana saja anda selama ini?”
“Tidak ada satu tempat pun yang layak bagiku di muka bumi ini, “ jawab Al-Ashma’i berpantun. Harun Al-Rasyid hanya tersenyum.
Setelah para hadirin keluar, Harun bertanya kepada Ashma’i, “apa maksud ucapan anda “Tidak ada satu tempat pun yang layak bagiku di muka bumi ini?”
“Artinya tidak ada satu tempat tinggal tetap bagiku, seperti dikatakan ‘si fulan tidak layak baginya sesuatu’ artinya: tidak ada sesuatu yang tetap untuknya,”
“Anda boleh saja berbahasa seperti itu, tetapi tidak seyogyanya (seharusnya) anda berbicara di depan orang banyak dengan bahasa yang tidak kupahami. Jika orang-orang sudah pergi engkau harus memberitahuku apa maksud ucapanmu. Karena sesungguhnya sangat memalukan bila seorang raja tidak mengetahui bahasa lawan bicaranya. Aku bisa saja diam tidak menjawab, namun orang-orang akan tahu bahwa aku tidak paham. Dan bila aku menjawab, aku bisa memberi jawaban yang salah, hingga orang-orang akan tahu kalau aku tidak paham ucapan anda."
Sejak menerima teguran itu, Ashma’i berkomentar,
Pada hari itu, Harun Ar-Rasyid telah mengajariku pelajaran lebih berharga ketimbang apa yang ku ajarkan padanya.”
(diadapatasi dari Amin, Husein Ahmad. 2005. 100 Kisah Teladan terj. Alf Hikayah Wa Hikayah min al-Adab al-Arabi al-Qadim oleh Safrudin Edi Wibowo. Yogyakarta: Mitra Pustaka.
Disunting Dari Kitab “Akhbar An-Nahwiyyin Al-Bashriyyin” Karya Abu Sa’id As-Sirafi)
“Wahai Al-Ashma’i, ke mana saja anda selama ini?”
“Tidak ada satu tempat pun yang layak bagiku di muka bumi ini, “ jawab Al-Ashma’i berpantun. Harun Al-Rasyid hanya tersenyum.
Setelah para hadirin keluar, Harun bertanya kepada Ashma’i, “apa maksud ucapan anda “Tidak ada satu tempat pun yang layak bagiku di muka bumi ini?”
“Artinya tidak ada satu tempat tinggal tetap bagiku, seperti dikatakan ‘si fulan tidak layak baginya sesuatu’ artinya: tidak ada sesuatu yang tetap untuknya,”
“Anda boleh saja berbahasa seperti itu, tetapi tidak seyogyanya (seharusnya) anda berbicara di depan orang banyak dengan bahasa yang tidak kupahami. Jika orang-orang sudah pergi engkau harus memberitahuku apa maksud ucapanmu. Karena sesungguhnya sangat memalukan bila seorang raja tidak mengetahui bahasa lawan bicaranya. Aku bisa saja diam tidak menjawab, namun orang-orang akan tahu bahwa aku tidak paham. Dan bila aku menjawab, aku bisa memberi jawaban yang salah, hingga orang-orang akan tahu kalau aku tidak paham ucapan anda."
Sejak menerima teguran itu, Ashma’i berkomentar,
Pada hari itu, Harun Ar-Rasyid telah mengajariku pelajaran lebih berharga ketimbang apa yang ku ajarkan padanya.”
(diadapatasi dari Amin, Husein Ahmad. 2005. 100 Kisah Teladan terj. Alf Hikayah Wa Hikayah min al-Adab al-Arabi al-Qadim oleh Safrudin Edi Wibowo. Yogyakarta: Mitra Pustaka.
Disunting Dari Kitab “Akhbar An-Nahwiyyin Al-Bashriyyin” Karya Abu Sa’id As-Sirafi)
Etika Pemimpin Menghadapi Barang Keramat Yang Belum Jelas
Jumat, Mei 02, 2008Ketika khalifah al-Mahdi duduk di majelisnya, tiba-tiba ada seorang lelaki masuk dengan membawa kantung berisi sandal. Lelaki itu berkata, “Wahai Amirul Mukminin! Ini adalah sandal Rasulullah SAW, aku hadiahkan untuk tuan.”
“Berikan padaku,” jawab Khalifah.
Lelaki itu memberikan bungkusan sandal kepada Khalifah. Khalifah mencium bagian dalam bungkusan tersebut dan menerawangnya dengan kedua matanya. Kemudian ia memerintahkan agar lelaki yang membawa sandal itu diberi hadiah sepuluh ribu dirham. Setelah mengambil uang, lelaki itu keluar dari majelis.
Al-Mahdi berkata kepada hadirin,
"Tahukah kalian bahwa aku tidak mengetahui kalau Rasulullah pernah memiliki sandal ini, apalagi memakainya? Tetapi kalau kita menuduh lelaki tadi berdusta, ia akan berkata kepada orang-orang: ‘Aku membawakan sandal Rasulullah SAW uantuk Amirul Mukminin namun ia menolak dan mengembalikan padaku.’ Orang-orang yang percaya omongan laki-laki itu akan lebih banyak daripada yang mengingkarinya. Karena tabiat orang-orang awam cenderung pada hal-hal seperti itu. Kita harus membela yang lemah meskipun yang lemah itu salah. Oleh karena itu, kubeli lidahnya dan kuterima hadiahnya, dan aku benarkan ucapannya. Menurutku, apa yang kulakukan lebih bermanfaat dan lebih baik.”
Halaman 63-64
(Amin, Husein Ahmad. 2005. 100 Kisah Teladan terj. Alf Hikayah Wa Hikayah min al-Adab al-Arabi al-Qadim oleh Safrudin Edi Wibowo. Yogyakarta: Mitra Pustaka. Disunting Dari Kitab “Al-Ishabah Fi Tamyiz Ash-Shahabah” Karya Ibn Hajar Al-Asqalani”)
“Berikan padaku,” jawab Khalifah.
Lelaki itu memberikan bungkusan sandal kepada Khalifah. Khalifah mencium bagian dalam bungkusan tersebut dan menerawangnya dengan kedua matanya. Kemudian ia memerintahkan agar lelaki yang membawa sandal itu diberi hadiah sepuluh ribu dirham. Setelah mengambil uang, lelaki itu keluar dari majelis.
Al-Mahdi berkata kepada hadirin,
"Tahukah kalian bahwa aku tidak mengetahui kalau Rasulullah pernah memiliki sandal ini, apalagi memakainya? Tetapi kalau kita menuduh lelaki tadi berdusta, ia akan berkata kepada orang-orang: ‘Aku membawakan sandal Rasulullah SAW uantuk Amirul Mukminin namun ia menolak dan mengembalikan padaku.’ Orang-orang yang percaya omongan laki-laki itu akan lebih banyak daripada yang mengingkarinya. Karena tabiat orang-orang awam cenderung pada hal-hal seperti itu. Kita harus membela yang lemah meskipun yang lemah itu salah. Oleh karena itu, kubeli lidahnya dan kuterima hadiahnya, dan aku benarkan ucapannya. Menurutku, apa yang kulakukan lebih bermanfaat dan lebih baik.”
Halaman 63-64
(Amin, Husein Ahmad. 2005. 100 Kisah Teladan terj. Alf Hikayah Wa Hikayah min al-Adab al-Arabi al-Qadim oleh Safrudin Edi Wibowo. Yogyakarta: Mitra Pustaka. Disunting Dari Kitab “Al-Ishabah Fi Tamyiz Ash-Shahabah” Karya Ibn Hajar Al-Asqalani”)
Etika Memberi Perintah kepada Bawahan
Kamis, Mei 01, 2008Suatu ketika Muawiyah mengangkat ‘Abdurrahman Ibn Khalid Ibn Al-Walid untuk menjadi panglima pasukan Muslimin. Saat itu tentara Romawi telah bersiap-siap menggempur.
Mu’awiyah menulis sebuah wasiyat. Ia bertanya kepada sang panglima,
“apa yang akan anda lakukan dengan wasiatku ini?”
Aku akan menjadikannya satu-satunya pedoman dalam menjalankan tugas dan aku tidak melanggar batas-batasnya”
“kembalikan padaku wasiatku!” kata Mu’awiyah.
Kemudian ia memecat Abdurrahman dan mengangkat Sufyan Ibn Al-Ghamidi. Mu’awiyah bertanya,
“Sungguh aku telah mengangkatmu menjadi panglima, dan ini wasiatku. Apa yang akan anda lakukan dengan wasiat ini?”
“aku akan menjadikannya pedoman selama masih sesuai dengan keteguhan hatiku. Bila sudah tidak sesuai lagi, aku meningalkannya dan akan aku gunakan pencapatku sendiri.”
“Anda berhak mendapatkannya!”
(Halaman 178-179)
(Amin, Husein Ahmad. 2005. 100 Kisah Teldan terj. Alf Hikayah Wa Hikayah min al-Adab al-Arabi al-Qadim oleh Safrudin Edi Wibowo. Yogyakarta: Mitra Pustaka.
Disunting Dari Kitab “Al-Ishabah Fi Tamyiz Ash-Shahabah” Karya Ibn Hajar Al-Asqalani”)
Mu’awiyah menulis sebuah wasiyat. Ia bertanya kepada sang panglima,
“apa yang akan anda lakukan dengan wasiatku ini?”
Aku akan menjadikannya satu-satunya pedoman dalam menjalankan tugas dan aku tidak melanggar batas-batasnya”
“kembalikan padaku wasiatku!” kata Mu’awiyah.
Kemudian ia memecat Abdurrahman dan mengangkat Sufyan Ibn Al-Ghamidi. Mu’awiyah bertanya,
“Sungguh aku telah mengangkatmu menjadi panglima, dan ini wasiatku. Apa yang akan anda lakukan dengan wasiat ini?”
“aku akan menjadikannya pedoman selama masih sesuai dengan keteguhan hatiku. Bila sudah tidak sesuai lagi, aku meningalkannya dan akan aku gunakan pencapatku sendiri.”
“Anda berhak mendapatkannya!”
(Halaman 178-179)
(Amin, Husein Ahmad. 2005. 100 Kisah Teldan terj. Alf Hikayah Wa Hikayah min al-Adab al-Arabi al-Qadim oleh Safrudin Edi Wibowo. Yogyakarta: Mitra Pustaka.
Disunting Dari Kitab “Al-Ishabah Fi Tamyiz Ash-Shahabah” Karya Ibn Hajar Al-Asqalani”)
Langganan:
Postingan (Atom)